Kaidah Ke-45 : Dimaafkan Jika Sekedar Meneruskan dan Dilarang Jika Memulai Dari Awal
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh Lima
يُغْتَفَرُ فِي الْبَقَاءِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِي اْلاِبْتِدَاءِ
Dimaafkan jika sekedar meneruskan dan dilarang jika memulai dari awal
MAKNA KAIDAH
Memulai suatu perbuatan atau akad tertentu terkadang terlarang, namun jika sekedar meneruskan apa yang sudah ada sebelumnya maka diperbolehkan dan diberi kelonggaran. Inilah inti pembahasan dalam kaidah ini.
Kaidah ini telah diisyaratkan dalam beberapa dalil dari al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kaidah ini juga mencakup unsur kemudahan dalam syariat yang sempurna ini. Karena dengan adanya perincian hukum sebagaimana disebutkan dalam kaidah ini maka akan memberikan kemudahan dan kelapangan dalam melaksanakan syariat.[1]
DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang menunjukkan kaidah ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla tentang larangan membunuh hewan buruan ketika seseorang dalam keadaan ihram :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. [al-Mâidah/5:95]
Dalam ayat ini terdapat larangan bagi orang yang sedang berihram untuk membunuh binatang buruan. Namun jika ia membunuh binatang buruan itu sebelum memulai ihram dan di luar tanah haram, kemudian setelah itu ia berniat ihram dengan membawa hasil buruannya itu, maka dalam hal ini ia tidak wajib untuk meninggalkan hasil burunnya itu. Karena keberadaan binatang buruan bersamanya itu termasuk kategori al baqa’ (meneruskan apa yang telah diperbolehkan sebelumnya). Namun jika sedang ihram dan ia membunuh binatang buruan maka ia berdosa dan harus mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan itu.[2] Karena itu termasuk kategori al ibtidâ’ (memulai dari awal). Sedangkan kaidah menyatakan bahwa sekedar meneruskan itu lebih ringan daripada memulai.[3]
Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan wabah yang berjangkit di suatu daerah :
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِى أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوْا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوْا فِرَارًا مِنْهُ
Kalian mendengar berita tentangnya (penyakit tha’un) di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya. Jika wabah penyakit itu sedang melanda daerah yang sedang kamu tempati, maka janganlah keluar (meninggalkan daerah itu) karena hendak lari dari penyakit tersebut. [4]
Apabila ada wabah yang berjangkit di suatu daerah maka orang yang ada di dalamnya tidak boleh keluar darinya, meski ada kemungkinan dia terkena madharat. Karena itu termasuk dalam kategori meneruskan apa yang telah ada dan tidak dianggap menjerumuskan diri dalam bahaya. Adapun orang yang berada di luar daerah tersebut maka ia tidak boleh masuk ke daerah wabah. Karena seorang insan diperintahkan untuk menjaga jiwanya dan dilarang menjatuhkan dirinya dalam kebiasaan.[5]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak. Di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Di antara larangan ihram adalah mengadakan akad nikah, maka tidak boleh bagi orang yang sedang dalam keadaaan ihram untuk menikah atau dinikahkan. Berdasarkan hadits ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا يَنْكِحُ اَلْمُحْرِمُ, وَلَا يُنْكِحُ, وَلَا يَخْطُبُ
Seseorang yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh meminang.[6]
Apabila seseorang yang sedang dalam keadaan ihram melakukan akad nikah maka nikahnya tidak sah. Namun jika seseorang mentalaq (menceraikan) isterinya, kemudian setelah itu ia berniat ihram, lalu muncul dalam hatinya keinginan untuk meruju’ isteri yang telah diceraikan itu, maka boleh baginya untuk merujuknya. Karena ruju’ bukanlah memulai akad pernikahan baru namun hanya sekedar meneruskan akad nikah yang sudah ada.[7]
2. Menikahi budak perempuan diperbolehkan dengan dua syarat, yaitu seseorang tidak mampu memberikan mahar kepada wanita merdeka dan khawatir terjatuh pada perbuatan fahisyah (perzinaan). Berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allâh mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka setengah hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu. [an-Nisâ’/4:25]
Apabila terpenuhi dua syarat ini maka boleh baginya untuk menikahi budak wanita. Apabila di kemudian hari ia telah mempunyai kemampuan untuk menikahi wanita merdeka atau telah hilang darinya kekhwatiran terjatuh dalam perzinaan, maka ketika itu haram baginya menikahi budak wanita untuk kedua kalinya. Adapun pernikahannya yang pertama tetap sah. Karena yang dilarang adalah memulai pernikahan dengan budak wanita mulai dari awal saat tidak terpenuhi syaratnya, adapun sekedar meneruskan maka diberi kelonggaran.
3. Berkaitan dengan pelaksanaan shalat sunnah mutlaq, yaitu shalat sunnah yang tidak ada sebab tertentu. Jika seseorang memulai shalat mutlaq itu pada selain waktu larangan shalat[8] kemudian di tengah-tengah shalat waktu larangan masuk, maka hal itu tidak mengapa, karena ini masuk dalam kategori meneruskan apa yang diperbolehkan sebelumnya. Akan tetapi jika telah masuk waktu larangan kemudian ia baru memulai shalat sunnah mutlaq maka hal itu tidak diperbolehkan.
4. Apabila seseorang memiliki harta haram disebabkan cara mendapatkan yang tidak dibenarkan syari’at, namun ia tidak tahu bahwa cara seperti itu dilarang syari’at. Seperti penghasilan dari muamalah ribawi dan semisalnya. Timbul pertanyaan, apabila dikemudian hari ia tahu hukumnya haram, apakah wajib baginya untuk membuang harta yang telah ia dapatkan tersebut ataukah tidak ? Jawabannya, ia tidak wajib meninggalkan harta yang telah ia dapatkan itu, karena ia mendapatkan udzur dengan sebab ketidaktahuannya. Juga ini masuk dalam kategori al baqa’ (meneruskan apa yang sebelumnya). Namun ketika ia telah mengetahui ilmunya, maka ia tidak boleh untuk mencari penghasilan dengan cara tersebut sejak saat itu.
5. Sebelum melaksanakan ihram untuk haji atau umrah disunnahkan bagi seseorang untuk memakai minyak wangi berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata :
كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لإِحْرَامِهِ قَبْلَ اَنْ يُحْرِمَ وَ لِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ
Dahulu aku memakaikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wangi-wangian untuk ihramnya sebelum beliau ihram, dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah.[9]
Maka disunnahkan bagi orang yang akan berniat ihram untuk memakai minyak wangi di badannya. Tidak diragukan bahwa apabila ia telah masuk dalam ibadah ihram bekas minyak wangi tersebut tetap ada, dan ini diperbolehkan. Karena hal itu hanya sekedar meneruskan apa yang telah ada sebelumnya. Namun jika ia memulai memakai minyak wangi ketika sudah dalam keadaan ihram, maka hal itu tidak diperbolehkan dan wajib baginya untuk membayar fidyah.[10] Karena memulai memakai minyak wangi ketika sudah dalam keadaan ihram tidak diperbolehkan, sedangkan sekedar meneruskan apa yang ada sebelumnya maka diberi kelonggaran.[11]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat pembahasan kaidah ini dalam al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah ma’a as-Syarh al-Mûjaz, hlm. 82.
[2]. Sebagaimana firman Allâh l dalam QS. al-Mâidah/5:95.
[3]. Lihat Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, hlm. 305.
[4]. HR. al-Bukhari no. 5729 dan Muslim no. 2219 dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu anhu
[5]. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla dalam QS. al-Baqarah/2:195
[6]. HR. Muslim no. 41.
[7]. Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, hlm. 305.
[8]. Di antara hadits yang menjelaskan rincian waktu-waktu yang dilarang mengerjakan shalat ketika itu adalah HR. Muslim no. 731 dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu. Dan hadits Abu Sa’id al Khudri riwayat al-Bukhari no. 586.
[9]. HR. al-Bukhari no.1539 dan Muslim no. 1189.
[10]. Fidyah yang harus dibayarkan adalah berpuasa tiga hari, atau memberi makan kepada enam orang miskin, atau menyembelih seekor kambing. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ka’ab bin ‘Ujrah riwayat al-Bukhari no. 1815 dan Muslim no. 1201.
[11]. Diangkat dari Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-53, dengan penyesuaian dan penambahan.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4244-kaidah-ke-45-dimaafkan-jika-sekedar-meneruskan-dan-dilarang-jika-memulai-dari-awal.html